Sabtu, 24 September 2011

Strategi Meningkatkan Ketahanan Energi

Sepanjang tahun 2011, realisasi produksi minyak Indonesia rata-rata hanya 905 ribu barel per hari, jauh dari target yang ditetapkan APBN sebesar 970 ribu barel per hari. Terlepas dari perdebatan apakah target yang ditetapkan terlalu tinggi, kegiatan operasi – terutama di lapangan-lapangan besar Indonesia – sedang mengalami gangguan serius. Ini akhirnya mengoreksi produksi cukup signifikan.


Gangguan pertama terjadi pada lapangan minyak terbesar Indonesia, Duri, yang dikelola Chevron Pacific Indonesia (CPI). Pada Agustus 2010, pipa gas TGI yang digunakan untuk mengalirkan gas ke Lapangan Duri pecah. Kecelakaan itu menyebabkan kebutuhan gas untuk pembangkit dan steamflood terhenti, sehingga produksi nasional ikut tergoncang. Ketika kerusakan selesai diperbaiki dan gas yang digunakan untuk mendukung operasional CPI dapat disalurkan kembali, produksi minyak turun 20 ribu barel per hari. Sampai saat ini produksi belum dapat dipulihkan ke tingkat sebelumnya.

Gangguan operasi juga terjadi di wilayah kerja lainnya. Produksi Total Indonesia di Kalimantan Timur turun hingga 10 ribu barel per hari karena tekanan dalam reservoir melemah. Sumur-sumur baru COPI di Sumatra Selatan batal menghasilkan minyak seperti yang direncanakan karena ternyata mengandung gas kering yang hanya sedikit mengandung kondensat. Produksi Lapangan JOB Pertamina WMO (bekas lapangan Kodeco Energi) juga menurun sekitar 10 ribu barel per hari karena keterlambatan investasi saat perubahan operator.

Walaupun target penerimaan negara dari sektor hulu migas dapat dicapai, bahkan diprediksikan akan tetap dapat dilampaui, namun penurunan produksi membuat impor minyak lebih besar dari yang direncanakan mengingat kebutuhan minyak nasional rata-rata sekitar 1,2 juta barel per hari.

Penambahan impor minyak tidak bisa dihindari karena saat ini minyak masih mendukung 48 persen kebutuhan energi nasional. Sementara penghematan tidak mungkin dilakukan karena keberadaan energi dibutuhkan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi nasional. Indonesia adalah negara yang sedang membangun. Konsumsi energinya hanyalah 1,1 persen dari seluruh konsumsi dunia, atau berada di urutan ke-20. Mengingat jumlah penduduk Indonesia yang nomor empat terbanyak di dunia, konsumsi energi kita sangat timpang dibanding Amerika yang mengonsumsi 20,8 persen energi dunia, ataau China sebesar 13,5 persen.

Untuk mendukung ketahanan energi nasioal, Indonesia harus berupaya mencukupi konsumsi energi yang dibutuhkan. Mengacu pada perencanaan yang disusun Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, kebutuhan energi Indonesia pada tahun 2025 adalah sebesar 8,3 juta barel equivalent per hari. Apabila produksi minyak dan gas bumi konstan, yaitu 2.300.000 BOEPD seperti saat ini, maka pada tahun 2025 migas hanya akan mensuplai kebutuhan energi sebesar 28 persen saja, atau turun dari posisi saat ini sebagai pemasok 77 persen kebutuhan energi nasional.

Yang menjadi pertanyaan, apakah dalam waktu 15 tahun sumber energi lain dapat dikembangkan agar mampu memenuhi 72 persen kebutuhan energi tahun 2025? Saat ini energi lain hanya mendukung 23 persen kebutuhan energi.

Peningkatan Cadangan

Apabila pemenuhan kebutuhan energi tetap dibebankan kepada sumber energi migas, maka langkah utama yang harus dilakukan adalah meningkatkan cadangan migas. Tanpa peningkatan cadangan, usaha untuk meningkatkan produksi juga menjadi tidak mungkin dilakukan. Selama 10 tahun belakangan ini cadangan minyak terbukti turun rata-rata 2,4 persen per tahun. Idealnya, setiap produksi 1 barel, harus digantikan dengan adanya penemuan cadangan 1 barel.

Pada tahun 2010, total produksi 344 juta barel setahun, hanya digantikan oleh cadangan sebesar 140 juta barel. Artinya, reserve replacement ratio (RRR) hanya sebesar 41 persen. Artinya, setiap 100 barel produksi hanya digantikan oleh 87 barel. Akibat rendahnya penemuan, cadangan minyak Indonesia yang besarnya 0,3 persen cadangan dunia, hanya cukup memenuhi kebutuhan selama 12 tahun. Sementara cadangan gas bumi yang besarnya 8,7 persen cadangan dunia, cukup memenuhi kebutuhan 44 tahun.

Potensi peningkatan cadangan masih terbuka lebar mengingat sebagian besar lapangan produksi belum dieksplorasi secara maksimal. Melalui penggunaan teknologi tinggi, KKKS produksi diharapkan dapat melakukan kegiatan Teknologi Enhance Oil Recovery (EOR) yang saat ini baru diterapkan di beberapa lapangan. Apabila kegiatan EOR berhasil meningkatkan recovery factor 10 persen, maka akan ada tambahan cadangan sebesar 4,3 miliar. Penambahan ini lebih besar dari cadangan minyak terbukti nasional yang hanya 3,7 miliar barel.

Namun, peningkatan kegiatan yang berisiko tinggi pada Kontraktor KKS produksi tersebut membutuhkan kepastian investasi melalui peraturan perundangan dan bentuk kontrak yang menarik. Karena itu diusulkan agar Indonesia memiliki beberapa jenis kontrak yang dapat mengakomodasi keekonomian berbagai jenis lapangan besar maupun kecil, daerah aman maupun frontier. Kepastian hukum juga dibutuhkan pada proses perpanjangan kontrak kerjasama. Tanpa kepastian hukum dan rezim kontrak yang menjanjikan keuntungan dan kepastian bagi investor, kegiatan investasi sulit direalisasi.

Artinya banyak peluang baik secara sentuhan bisnis dalam perbaikan jenis kontrak, maupun sentuhan teknologi yang bisa diusahakan, sehingga bisa meningkatkan cadangan dan akhirnya meningkatkan produksi minyak dan gas bumi. Apabila semua kegiatan tersebut dilaksanakan, yaitu perbaikan sistim bisnis migas yang akan menaikan kegiatan eksplorasi, dan merangsang penggunaan teknologi tinggi dalam usaha produksi menjadi satu kesatuan dari hulu sampai hilir, maka jargon di dunia migas “Resource to Reserve to Production" (R2R2P) akan terlaksana di Indonesia.

Usaha lain yang dapat dilakukan adalah menggalakkan realisasi kegiatan eksplorasi. Saat ini terdapat 107 Wilayah Kerja eksplorasi, namun sebanyak 77 wilayah kerja di antaranya tidak mampu memenuhi komitmen pasti untuk merealisasi kegiatan seismik, ataupun merealisasi kegiatan pengeboran eksplorasi karena berbagai kendala di lapangan seperti tumpang tindih, izin lahan yang belum tuntas, masalah social dan sebagainya.

Kesimpulan

Dari paparan paparan singkat tersebut, ada sejumlah simpulan penting. Pertama, kekurangan energi tahun 2025 tidak bisa dijawab dengan “penghematan” karena posisi ekonomi Indonesia yang masih harus tumbuh mengejar ketertinggalan, maka usaha “pemenuhan” energi menjadi satu-satunya jalan. Kedua, kenaikan kebutuhan energi sebesar 7 persen per tahun bila hanya diimbangi dengan kenaikan energi non-migas diperlukan kenaikan 15,5 persen per tahun, sehingga menjadi kesempatan besar bagi pengembangan energi baru dan terbarukan.

Ketiga, dengan membebankan kebutuhan energi nasional pada non-migas saja, hampir merupakan sebuah kemustahilan. Oleh karena itu, peningkatan produksi migas menjadi suatu keharusan yang tidak mungkin ditawar lagi. Keempat, apabila Usaha-usaha eksploitasi migas secara operasional sudah maksimal, Indonesia harus mampu memperbaiki iklim investasi yang kondusif, sehingga investor mau datang, antara lain melalui perbaikan UU yang terkait dengan energi, bentuk-bentuk kontrak, sistim fiskal, kepastian hukum, dan jaminan keamanan, serta terobosan-terobosan kebijakan yang menarik untuk meningkatkan investasi untuk pengembangan EOR, IOR, pemasaran Blok Baru, Reenjinering pengelolaan Data Migas.

Kelima, wajib meningkatkan kapabilitas dalam mengelola industri migas, baik dari sisi infrastruktur, peralatan, SDM, teknologi, riset ataupun permodalan. Keenam, agar R2R2P harus menjadi suatu kesatuan melalui: ekstensifikasi, yaitu meningkatkan cadangan melalui kegiatan eksplorasi; dan intensifikasi, yaitu meningkatkan produksi melalui peningkatan Recovery Factor dengan teknologi EOR, IOR, dan yang lain.

Rudi Rubiandini R.S.
Guru Besar dan Petroleum Engineering ITB

Sumber :
http://metrotvnews.com/read/analisdetail/2011/07/02/177/Strategi-Meningkatkan-Ketahanan-Energi
Sabtu, 2 Juli 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar